::.. Selamat Datang Di Website Resmi DPC Partai NasDem Kec. Rajeg Kab. Tangerang Prov. Banten ..:: ::.. Bergabunglah Bersama Kami Untuk Melakukan Restorasi Indonesia ..::

Sabtu, 01 Desember 2012

Tantangan Pelembagaan Demokratisasi

SETELAH proses transisi sejak Mei 1998, hal yang harus dilakukan adalah proses pelembagaan politik. Artinya, semua lembaga politik harus diorientasikan untuk mendukung penguatan pelembagaan demokratisasi.

Di antara lembaga-lembaga politik yang paling memiliki peran strategis adalah partai politik (parpol). Parpollah yang secara kelembagaan berwenang mengajukan nama-nama kandidat yang hendak menduduki jabatan-jabatan penting di lembaga-lembaga demokrasi. Parpol bahkan berhak mengajukan kader-kadernya duduk di lembaga legislatif (DPR), eksekutif (presiden-wakil presiden, kepala daerah-wakil kepala daerah), dan yudikatif (sebagian hakim konstitusi).

Karena peranannya yang sangat strategis itu, m­­a­ka kehidupan kepartaian harus ditata agar se­la­ras dengan semangat pelembagaan demo­kr­a­ti­sasi. Penataan yang dimaksud bukan untuk mem­ba­tasi hak warga negara untuk berserikat dan ber­kum­pul sebagaimana ketentuan konstitusi, tetapi un­­tuk menerapkan syarat-syarat apa saja yang ha­rus dipenuhi parpol agar bisa mengikuti pemilu. Di­terapkannya syarat-syarat itu antara lain ber­tujuan untuk membatasi jumlah parpol.

Pada tiga kali pemilu pascareformasi, jumlah parpol yang berhak mengikuti pemilu masih terlalu ba­nyak. Karena saking banyaknya parpol yang ha­rus dipilih, selain membingungkan, pilihan rak­yat menjadi terpencar-pencar ke dalam banyak par­pol, sehingga tak ada satu pun yang berhasil men­dapat dukungan rakyat secara mayoritas mutlak (di atas 50 pensen).

Karena banyaknya partai yang berhasil mendudukkan anggotanya di DPR, maka lembaga legislatif menjadi pasar politik yang sangat ramai dengan tingkat multipolaritas yang tinggi. Padahal, peme­rintahan kita menganut sistem presidensial yang artinya kepa­la pemerintahan berada di ta­ngan presiden yang me­nisca­ya­kan presiden mampu mere­dam, atau setidak-tidak­nya mengimbangi kekuatan DPR agar pemerintahan bisa berja­lan efektif.

Sejatinya, untuk menge­fek­tifkan jalannya peme­rinta­han, pre­siden diberi sejum­lah hak pre­rogatif sebagaimana yang di­atur dalam konstuitusi. Te­tapi setelah dilakukan aman­demen konstitusi, ada bebe­rapa hak prerogatif yang hanya bisa ditempuh dengan pe­r­timbangan atau per­setujuan DPR. Bahkan untuk mengang­kat dan memberhentikan men­­teri yang secara mutlak men­­jadi kewenangan presiden pun, pada faktanya banyak men­teri yang harus diangkat atau diberhentikan dengan persetujuan pimpinan parpol.

Karena multipolarisasi ke­kuatan parpol di DPR, maka da­­lam menjalankan peme­rin­tahannya, presiden harus be­r­koalisi dengan sejumlah par­pol untuk memenuhi kebu­tu­han suara mayoritas. Akan te­tapi, meskipun koalisi sudah di­bangun, pada praktiknya ma­sih ada parpol anggota koa­lisi yang tidak patuh dan meng­­hambat laju jalannya pe­merintahan.

Untuk mengatasi masalah ini, satu-satunya cara yang pa­ling realistis adalah dengan me­naikkan parliamentary threshold (PT), gunanya untuk me­­nyederhanakan (mem­per­kecil) jumlah parpol, dan—yang lebih penting—untuk mem­buka peluang lahirnya par­pol peraih suara mayoritas yang mendukung presiden. De­ngan demikian, presiden ti­dak perlu lagi tersandera da­lam koalisi.

Sayangnya, PT yang sudah di­tetapkan dalam UU Partai Po­litik untuk Pemilu 2014 men­datang masih pada angka 3,5 persen. Dengan demikian, me­nurut saya masih ada tanta­ngan besar dalam proses pe­lem­bagaan demokratisasi, ter­utama melalui upaya penye­der­­hanaan partai politik. Kare­na pengalaman tiga pemilu (1999, 2004, dan 2009) me­nun­jukkan, masih cukup ba­nyak parpol yang meraih suara di atas 3,5 persen.

Apa implikasinya? Perta­ma, jelas pasca-Pemilu 2014 nanti, lembaga legislatif masih akan tetap dipenuhi para po­liti­kus yang berasal dari bera­gam parpol. Artinya, akan te­tap terjadi multipolarisasi yang sarat perdebatan (tanpa ujung) dalam setiap pembahasan RUU atau tugas-tugas lainnya.

Kedua, presiden akan tetap ter­sandera oleh kekuatan-ke­kua­tan parpol di lembaga le­gis­latif. Dan, presiden akan “di­paksa” untuk tetap mem­bangun koalisi yang dalam prak­tiknya sarat tawar-mena­war politik yang cende­rung me­ngabaikan etika dan kesan­tunan dalam berpolitik.

Kedua implikasi yang bisa me­nghambat pelembagaan demokratisasi itu seharusnya bisa dihindari jika PT ditetap­kan antara 5-10 persen. Dengan PT “hanya” 3,5 persen, ber­arti pelembagaan politik yang kita harapkan akan sa­ngat tergantung pada kesadaran publik atau pemilih.

Saat ini, partai-partai pe­ser­ta Pemilu 2014 sudah mulai ber­kampanye secara soft di ber­bagai media dengan ca­ra­nya masing-masing. Se­cara umum ada yang pro-status quo dan ada yang pro-peru­bahan. Dengan begitu, tentu­nya publik sudah bisa menilai partai mana yang layak dipilih. Menurut saya, jika pilihan pada partai yang pro-peru­bahan jumlahnya signi­fikan dan bisa mengalahkan yang pro-status quo, ada harapan be­­sar kita bisa menjawab tan­ta­ngan pelembagaan demo­kra­tisasi secara baik.


Berita Lainnya :

0 komentar:

Posting Komentar