SETELAH proses transisi sejak Mei 1998, hal yang harus dilakukan
adalah proses pelembagaan politik. Artinya, semua lembaga politik harus
diorientasikan untuk mendukung penguatan pelembagaan demokratisasi.
Di antara lembaga-lembaga politik yang paling memiliki peran
strategis adalah partai politik (parpol). Parpollah yang secara
kelembagaan berwenang mengajukan nama-nama kandidat yang hendak
menduduki jabatan-jabatan penting di lembaga-lembaga demokrasi. Parpol
bahkan berhak mengajukan kader-kadernya duduk di lembaga legislatif
(DPR), eksekutif (presiden-wakil presiden, kepala daerah-wakil kepala
daerah), dan yudikatif (sebagian hakim konstitusi).
Karena peranannya yang sangat strategis itu, maka kehidupan
kepartaian harus ditata agar selaras dengan semangat pelembagaan
demokratisasi. Penataan yang dimaksud bukan untuk membatasi hak
warga negara untuk berserikat dan berkumpul sebagaimana ketentuan
konstitusi, tetapi untuk menerapkan syarat-syarat apa saja yang harus
dipenuhi parpol agar bisa mengikuti pemilu. Diterapkannya
syarat-syarat itu antara lain bertujuan untuk membatasi jumlah parpol.
Pada tiga kali pemilu pascareformasi, jumlah parpol yang berhak
mengikuti pemilu masih terlalu banyak. Karena saking banyaknya parpol
yang harus dipilih, selain membingungkan, pilihan rakyat menjadi
terpencar-pencar ke dalam banyak parpol, sehingga tak ada satu pun yang
berhasil mendapat dukungan rakyat secara mayoritas mutlak (di atas 50
pensen).
Karena banyaknya partai yang berhasil mendudukkan anggotanya di DPR,
maka lembaga legislatif menjadi pasar politik yang sangat ramai dengan
tingkat multipolaritas yang tinggi. Padahal, pemerintahan kita menganut
sistem presidensial yang artinya kepala pemerintahan berada di tangan
presiden yang meniscayakan presiden mampu meredam, atau
setidak-tidaknya mengimbangi kekuatan DPR agar pemerintahan bisa
berjalan efektif.
Sejatinya, untuk mengefektifkan jalannya pemerintahan, presiden
diberi sejumlah hak prerogatif sebagaimana yang diatur dalam
konstuitusi. Tetapi setelah dilakukan amandemen konstitusi, ada
beberapa hak prerogatif yang hanya bisa ditempuh dengan pertimbangan
atau persetujuan DPR. Bahkan untuk mengangkat dan memberhentikan
menteri yang secara mutlak menjadi kewenangan presiden pun, pada
faktanya banyak menteri yang harus diangkat atau diberhentikan dengan
persetujuan pimpinan parpol.
Karena multipolarisasi kekuatan parpol di DPR, maka dalam
menjalankan pemerintahannya, presiden harus berkoalisi dengan
sejumlah parpol untuk memenuhi kebutuhan suara mayoritas. Akan
tetapi, meskipun koalisi sudah dibangun, pada praktiknya masih ada
parpol anggota koalisi yang tidak patuh dan menghambat laju jalannya
pemerintahan.
Untuk mengatasi masalah ini, satu-satunya cara yang paling realistis
adalah dengan menaikkan parliamentary threshold (PT), gunanya untuk
menyederhanakan (memperkecil) jumlah parpol, dan—yang lebih
penting—untuk membuka peluang lahirnya parpol peraih suara mayoritas
yang mendukung presiden. Dengan demikian, presiden tidak perlu lagi
tersandera dalam koalisi.
Sayangnya, PT yang sudah ditetapkan dalam UU Partai Politik untuk
Pemilu 2014 mendatang masih pada angka 3,5 persen. Dengan demikian,
menurut saya masih ada tantangan besar dalam proses pelembagaan
demokratisasi, terutama melalui upaya penyederhanaan partai politik.
Karena pengalaman tiga pemilu (1999, 2004, dan 2009) menunjukkan,
masih cukup banyak parpol yang meraih suara di atas 3,5 persen.
Apa implikasinya? Pertama, jelas pasca-Pemilu 2014 nanti, lembaga
legislatif masih akan tetap dipenuhi para politikus yang berasal dari
beragam parpol. Artinya, akan tetap terjadi multipolarisasi yang sarat
perdebatan (tanpa ujung) dalam setiap pembahasan RUU atau tugas-tugas
lainnya.
Kedua, presiden akan tetap tersandera oleh kekuatan-kekuatan
parpol di lembaga legislatif. Dan, presiden akan “dipaksa” untuk
tetap membangun koalisi yang dalam praktiknya sarat tawar-menawar
politik yang cenderung mengabaikan etika dan kesantunan dalam
berpolitik.
Kedua implikasi yang bisa menghambat pelembagaan demokratisasi itu
seharusnya bisa dihindari jika PT ditetapkan antara 5-10 persen. Dengan
PT “hanya” 3,5 persen, berarti pelembagaan politik yang kita harapkan
akan sangat tergantung pada kesadaran publik atau pemilih.
Saat ini, partai-partai peserta Pemilu 2014 sudah mulai
berkampanye secara soft di berbagai media dengan caranya
masing-masing. Secara umum ada yang pro-status quo dan ada yang
pro-perubahan. Dengan begitu, tentunya publik sudah bisa menilai
partai mana yang layak dipilih. Menurut saya, jika pilihan pada partai
yang pro-perubahan jumlahnya signifikan dan bisa mengalahkan yang
pro-status quo, ada harapan besar kita bisa menjawab tantangan
pelembagaan demokratisasi secara baik.
0 komentar:
Posting Komentar