::.. Selamat Datang Di Website Resmi DPC Partai NasDem Kec. Rajeg Kab. Tangerang Prov. Banten ..:: ::.. Bergabunglah Bersama Kami Untuk Melakukan Restorasi Indonesia ..::

Selasa, 04 Desember 2012

Beda Indonesia dan AS

Sebagai negara maju dengan demokrasi yang su­­dah mapan dengan perjalanan yang sangat la­ma, Ame­rika Serikat (AS) tentu saja tak bisa diban­ding­kan dengan Indonesia. AS sudah ratusan ta­hun mer­deka, sementara Indonesia baru pu­luhan tahun. AS su­­dah melahirkan puluhan man­tan presiden, se­men­tara Indonesia baru be­berapa saja.

Tapi sebagai negara yang tengah merangkak me­nuju demokrasi, kiranya tak salah jika dalam hal berdemokrasi Indonesia belajar pada AS. Ha­rus kita akui tidak semua hal yang datang dari AS baik, seperti ambivalensinya dalam merespons isu-isu hak asasi manusia, terutama yang me­nyang­kut negara-negara sekutunya di Timur Tengah. Ti­dak apa-apa. Kita tinggalkan saja yang buruk, kita cukup ambil yang baiknya saja.

Sebagai contoh, di antara yang menurut saya baik, sekarang ini tengah berlangsung masa-masa kam­panye menuju pemilihan presiden (pilpres) yang akan berlangsung November 2012.

Menjelang pilpres, ada tiga perbedaan mendasar antara Indonesia dan AS, yakni dalam menjaring nama-nama capres, keberpihakan (dukungan) partai politik; dan sikap pemilih.

Pertama, dalam proses pen­ja­ringan kandidat capres. Di AS di­kenal mekanisme kon­vensi. Yak­ni, pemilihan secara terbuka yang dilakukan oleh partai po­litik—bia­sanya dari kubu oposisi. Se­be­lum konvensi di tingkat na­sio­nal (federal), ada konvensi di ting­­kat lokal (states). Tapi, jika da­lam proses di tingkat lokal su­dah sam­pai pada angka 1.144 (jum­lah mi­nimal du­kungan delegasi yang dibu­tuhkan un­tuk menjadi ca­pres), maka konvensi di tingkat na­sio­nal hanya untuk me­netapkan.

Jika dalam tahap-tahap awal su­d­ah tampak kecenderungan—ba­ik dari segi popularitas yang di­ketahui lewat hasil surveitau polling, atau dari hasil konvensi di tingkat lokal—seorang kandi­dat tidak mendapatkan duku­ngan signifikan, maka ia akan mun­dur secara elegan dan men­du­­kung kandidat yang lebih po­pular. Inilah yang sekarang ter­jadi pada Newt Gingrich dan Rick Santorum. Keduanya mun­dur secara elegan dan mem­be­ri­kan dukungan pada Mitt Romney sebagai satu-satunya kan­didat dari Partai Republik.

Di Indonesia, mekanisme penjaringan capres lebih banyak ditentukan pimpinan partai politik. Konvensi pernah dilaku­kan Partai Golkar pada men­je­lang Pilpres 2004 dengan me­ka­nis­me khas Partai Golkar. Sa­yang tradisi yang baik itu tidak di­ikuti pada pilpres berikutnya. Par­tai Golkar sekarang tidak ber­beda dengan yang lain.

Penjaringan capres sepe­nuh­­­nya dilakukan oleh pim­pi­nan par­tai. Hasil survei dan pol­ling si­fat­nya hanya kom­ple­men­ter saja. Peranannya tidak sig­nifikan. To­koh yang tidak di­pilih o­leh pim­pinan partai pun biasa­nya ja­rang yang mau bersikap ele­gan dalam arti secara sadar dan suka­rela mendukung calon yang telah di­ten­tukan pimpinan partai. To­koh yang tak dipilih ada kecen­de­rungan menjadi opo­­sisi di internal partai, atau ber­pindah haluan mencari du­ku­ngan dari partai lain.

Kedua, soal sikap partai p­o­litik. Di AS sikap partai sangat je­las, sesuai dengan ideologi yang diusungnya. Partai Re­publik yang mengusung ideo­logi konservatif, misalnya, tentu akan mendukung capres yang pu­­nya ideologi yang sama. Tidak per­­nah ada cerita, partai konser­va­tif mendukung capres yang be­r­asal dari partai yang beri­deo­logi liberal.

Di Indonesia tidak demikian. Se­cara spesifik sesuai dengan plat­formnya memang ada per­be­daan ideologi antara partai yang satu dengan yang lain. Mi­salnya partai A, B, atau C ber­ideologi Islam; partai D, E, dan F berideologi na­sionalis religius; par­tai G, H, dan I berideologi nasionalis sekuler, dan lain-lain. Te­tapi uniknya, da­lam memilih capres, ideologi-ideo­logi yang spesifik itu cende­rung diabai­kan. Bahkan, bisa dikatakan tidak ber­pengaruh sama sekali. Partai berideologi Islam bisa dengan mudah mendukung capres yang berideologi sekuler, begitupun sebaliknya.

Ketiga, soal sikap pemilih. Di AS, meskipun kita kenal sebagai negara liberal yang menjunjung ting­gi hak-hak individu, pada prak­tiknya, sikap pemilih cende­rung lebih “konservatif” jika di­ban­dingkan dengan para pemi­lih di Indonesia. Pada umumnya, pe­milih di AS memiliki kecen­de­rungan yang fanatik dalam memilih partai juga capres. Ke­luarga yang berasal dari Partai Demokrat misalnya, akan terus be­rada di ja­lur itu sampai turun te­murun, be­gitupun keluarga Par­tai Re­publik. Cuma memang, kecen­derungan kon­servatif itu tidak begitu me­nen­tukan, kare­na di AS juga ada swing voters atau undecided voters yang jum­lahnya sangat signi­fikan. Si­kap mereka inilah yang sa­ngat me­nentukan terpilih atau tidak­nya seorang capres.

Di Indonesia, sejatinya ada juga pemilih fanatik dari turun te­­murun. Tapi karena kefa­na­ti­kan mereka tidak dibangun atas da­sar pilihan-pilihan rasio­nal, ma­ka sangat mudah goyah, mi­salnya karena alasan-alasan yang sangat pragmatis seperti po­litik uang dan yang sema­camnya.

Dengan membaca ketiga per­be­daan antara Indonesia dan AS, kita bisa sedikit memahami me­­n­gapa demokrasi di Indonesia masih jauh dari harapan, ma­sih menimbulkan kontro­ver­si dan perdebatan. Pers­o­alannya, me­­­nurut saya, bukan pada nilai de­­­mokrasinya seperti yang di­sam­paikan para aktivis Islam fa­natik, tapi lebih karena kera­puhan sikap kita dalam mempraktikkan ideo­logi yang kita anut.
Tulisan pernah dimuat di Padang Ekspres • Selasa, 29/05/2012


Berita Lainnya :

0 komentar:

Posting Komentar