Sebagai negara maju dengan demokrasi yang sudah mapan dengan
perjalanan yang sangat lama, Amerika Serikat (AS) tentu saja tak bisa
dibandingkan dengan Indonesia. AS sudah ratusan tahun merdeka,
sementara Indonesia baru puluhan tahun. AS sudah melahirkan puluhan
mantan presiden, sementara Indonesia baru beberapa saja.
Tapi sebagai negara yang tengah merangkak menuju demokrasi, kiranya
tak salah jika dalam hal berdemokrasi Indonesia belajar pada AS. Harus
kita akui tidak semua hal yang datang dari AS baik, seperti
ambivalensinya dalam merespons isu-isu hak asasi manusia, terutama yang
menyangkut negara-negara sekutunya di Timur Tengah. Tidak apa-apa.
Kita tinggalkan saja yang buruk, kita cukup ambil yang baiknya saja.
Sebagai contoh, di antara yang menurut saya baik, sekarang ini tengah
berlangsung masa-masa kampanye menuju pemilihan presiden (pilpres)
yang akan berlangsung November 2012.
Menjelang pilpres, ada tiga perbedaan mendasar antara Indonesia dan
AS, yakni dalam menjaring nama-nama capres, keberpihakan (dukungan)
partai politik; dan sikap pemilih.
Pertama, dalam proses penjaringan kandidat capres. Di AS dikenal
mekanisme konvensi. Yakni, pemilihan secara terbuka yang dilakukan
oleh partai politik—biasanya dari kubu oposisi. Sebelum konvensi di
tingkat nasional (federal), ada konvensi di tingkat lokal (states).
Tapi, jika dalam proses di tingkat lokal sudah sampai pada angka
1.144 (jumlah minimal dukungan delegasi yang dibutuhkan untuk
menjadi capres), maka konvensi di tingkat nasional hanya untuk
menetapkan.
Jika dalam tahap-tahap awal sudah tampak kecenderungan—baik dari
segi popularitas yang diketahui lewat hasil surveitau polling, atau
dari hasil konvensi di tingkat lokal—seorang kandidat tidak mendapatkan
dukungan signifikan, maka ia akan mundur secara elegan dan
mendukung kandidat yang lebih popular. Inilah yang sekarang terjadi
pada Newt Gingrich dan Rick Santorum. Keduanya mundur secara elegan
dan memberikan dukungan pada Mitt Romney sebagai satu-satunya
kandidat dari Partai Republik.
Di Indonesia, mekanisme penjaringan capres lebih banyak ditentukan
pimpinan partai politik. Konvensi pernah dilakukan Partai Golkar pada
menjelang Pilpres 2004 dengan mekanisme khas Partai Golkar. Sayang
tradisi yang baik itu tidak diikuti pada pilpres berikutnya. Partai
Golkar sekarang tidak berbeda dengan yang lain.
Penjaringan capres sepenuhnya dilakukan oleh pimpinan partai.
Hasil survei dan polling sifatnya hanya komplementer saja.
Peranannya tidak signifikan. Tokoh yang tidak dipilih oleh pimpinan
partai pun biasanya jarang yang mau bersikap elegan dalam arti
secara sadar dan sukarela mendukung calon yang telah ditentukan
pimpinan partai. Tokoh yang tak dipilih ada kecenderungan menjadi
oposisi di internal partai, atau berpindah haluan mencari dukungan
dari partai lain.
Kedua, soal sikap partai politik. Di AS sikap partai sangat jelas,
sesuai dengan ideologi yang diusungnya. Partai Republik yang mengusung
ideologi konservatif, misalnya, tentu akan mendukung capres yang
punya ideologi yang sama. Tidak pernah ada cerita, partai
konservatif mendukung capres yang berasal dari partai yang
berideologi liberal.
Di Indonesia tidak demikian. Secara spesifik sesuai dengan
platformnya memang ada perbedaan ideologi antara partai yang satu
dengan yang lain. Misalnya partai A, B, atau C berideologi Islam;
partai D, E, dan F berideologi nasionalis religius; partai G, H, dan I
berideologi nasionalis sekuler, dan lain-lain. Tetapi uniknya, dalam
memilih capres, ideologi-ideologi yang spesifik itu cenderung
diabaikan. Bahkan, bisa dikatakan tidak berpengaruh sama sekali.
Partai berideologi Islam bisa dengan mudah mendukung capres yang
berideologi sekuler, begitupun sebaliknya.
Ketiga, soal sikap pemilih. Di AS, meskipun kita kenal sebagai negara
liberal yang menjunjung tinggi hak-hak individu, pada praktiknya,
sikap pemilih cenderung lebih “konservatif” jika dibandingkan dengan
para pemilih di Indonesia. Pada umumnya, pemilih di AS memiliki
kecenderungan yang fanatik dalam memilih partai juga capres. Keluarga
yang berasal dari Partai Demokrat misalnya, akan terus berada di
jalur itu sampai turun temurun, begitupun keluarga Partai Republik.
Cuma memang, kecenderungan konservatif itu tidak begitu menentukan,
karena di AS juga ada swing voters atau undecided voters yang
jumlahnya sangat signifikan. Sikap mereka inilah yang sangat
menentukan terpilih atau tidaknya seorang capres.
Di Indonesia, sejatinya ada juga pemilih fanatik dari turun
temurun. Tapi karena kefanatikan mereka tidak dibangun atas dasar
pilihan-pilihan rasional, maka sangat mudah goyah, misalnya karena
alasan-alasan yang sangat pragmatis seperti politik uang dan yang
semacamnya.
Dengan membaca ketiga perbedaan antara Indonesia dan AS, kita bisa
sedikit memahami mengapa demokrasi di Indonesia masih jauh dari
harapan, masih menimbulkan kontroversi dan perdebatan.
Persoalannya, menurut saya, bukan pada nilai demokrasinya
seperti yang disampaikan para aktivis Islam fanatik, tapi lebih
karena kerapuhan sikap kita dalam mempraktikkan ideologi yang kita
anut.
Tulisan pernah dimuat di Padang Ekspres • Selasa, 29/05/2012
0 komentar:
Posting Komentar