Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ada dua makna “restorasi”.
Pertama, pengembalian atau pemilihan kepada keadaan semua; dan kedua,
gerbong kereta api yang dijadikan restoran. Kedua makna ini relevan
dalam perspektif pencarian jati diri manusia di bulan Ramadhan, mengapa?
Pertama, karena dalam bulan Ramadhan diwajibkan berpuasa. Gunanya
antara lain sebagai sarana menyucikan diri. Secara fisik, puasa ibarat
turun mesin. Pencernaan yang bekerja sepanjang tahun, dengan puasa ia
menjadi istirahat sejenak.
Secara spiritual, puasa menjadi sarana penyucian karena dalam puasa
tak hanya makan, minum, dan hubungan badan yang dihindari, tapi juga
semua perkataan dan perbuatan tercela.
Tak hanya itu, dalam momentum puasa juga ada kewajiban membayar
zakat, yang secara harfiah bermakna penyucian. Sebagian kecil harta yang
kita miliki harus diberikan kepada fakir miskin. Gunanya agar harta
yang kita miliki menjadi bersih karena siapa tahu dalam proses
kepemilikannya ada bagian yang diperoleh secara tidak sah. Tapi perlu
dicatat, zakat bukanlah semacam money loundering bagi harta yang
diperoleh secara tidak sah. Harta hasil korupsi misalnya, tetap saja
haram walaupun sudah dikeluarkan zakatnya.
Karena dalam puasa ada proses penyucian jiwa, raga, juga harta maka
bagi yang telah sukses melalui semua proses itu, ia berhak untuk
(berharap) kembali pada fitrah yang secara harfiyah menurut bahasa Arab
berarti idul fitri. Manusia yang dalam perjalanan panjangnya (mungkin)
banyak berbuat dosa, jika ia berpuasa dengan kesungguhan dan ketulusan
maka ia menjadi suci kembali bagaimana bayi yang baru lahir. Idul Fitri,
dengan demikian, bisa juga bermakna restorasi yang bermakna proses
pengembalian diri pada kondisi semula.
Kedua, apa relevansi Ramadhan dengan restorasi yang bermakna gerbong
kereta api restoran? Karena Ramadhan meskipun secara fisik berpuasa
(tidak makan dan minum), secara rohani sebenarnya justru menjadi
“restoran” untuk menyantap segala macam gizi yang dibutuhkan untuk
memenuhi dahaga spiritual.
Dalam pengembaraan selama sebelas bulan lamanya, manusia akan
melewati segala macam tantangan dan godaan. Apakah semua manusia akan
selamat dari tantangan dan godaan itu? Jawabannya pasti tidak. Selalu
ada manusia yang terjerumus, menjadi lapar serta haus secara spiritual.
Pada manusia seperti ini, puasa akan menjadi oase, atau menjadi
“restoran” yang tempat bersantap ruhani. Puasa satu bulan lamanya
diyakini akan menghapus dosa-dosa yang sudah dilakukan sebelumnya.
Cuma perlu dicatat, puasa yang mampu menghapus dosa-dosa masa lalu
adalah yang memenuhi dua syarat: pertama, dengan keimanan. Yakni dengan
keyakinan penuh bahwa kita benar-benar berpuasa karena menjalankan
perintah-Nya. Karena kepatuhan kepada Yang Maha Memiliki bahwa kita
berasal dari-Nya dan akan kembali pada-Nya.
Puasa merupakan proses kembali, tapi bukan kembali seperti anak
durhaka yang pulang ke rumah orang tua yang telah disia-siakan,
melainkan kembali dengan baik karena selama merantau benar-benar
menjalankan titah-titah-Nya. Puasa adalah proses pengembalian ruhani
pada (sifat-sifat) Tuhan karena puasa merupakan satu-satunya ibadah yang
diakui milik-Nya dan hanya Dia yang berhak memberi imbalan .
Syarat yang kedua, dilakukan dengan otokritik dan mengaca diri
(muhasabah). Jika puasa diyakini sebagai ibadah milik Tuhan maka sebelum
menjalankannya harus ada proses kalkulasi apakah dosa-dosa yang telah
kita perbuat lebih sedikit, berimbang, ataukah lebih banyak dari
kebaikan-kebaikan yang kita lakukan. Jika kebaikannya lebih sedikit maka
bersegeralah memohon ampunan dan berbuat baiklah sebanyak-banyaknya
sehingga kebaikan bisa mengungguli dosa-dosa.
Hanya dengan dua syarat inilah, puasa kita akan benar-benar menjadi
momentum restorasi. Momentum untuk mengembalikan kita pada kondisi asal
mula kejadian yang benar-benar suci dan bersih. Momentum untuk
memberikan gizi profetik pada jiwa yang kusam karena terlampau lama
tertimbun debu sepanjang perjalanan.
0 komentar:
Posting Komentar