GUN GUN HERYANTO, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
Satu terobosan yang cukup menarik didiskusikan dalam dinamika
pemasaran politik jelang Pemilu 2014 adalah rencana pembiayaan calon
anggota legislatif (caleg) oleh Partai Nasional Demokrat (NasDem).
Besaran pembiayaan yang berkisar Rp5- 10 miliar per caleg tersebut
merupakan terobosan baru. Strategi persuasi itu tak hanya mengundang
nilai publisitas di kalangan media massa, tetapi juga diprediksi
menyentuh para politisi sekaligus simpulsimpul tokoh masyarakat.
Nilai Positif
Jika benar-benar direalisasikan, strategi membiayai caleg itu
memiliki tiga hal positif. Pertama, menjadi pendekatan baru dalam pola
relasi caleg dengan partai. Selama ini tradisi kepartaian kita lekat
dengan corak feodal-oligarkistransaksional. Salah satu dampaknya,
politik menjadi high cost terlebih dalam pertarungan horizontal melalui
sistem proporsional terbuka. Salah satu penyebab high cost itu adalah
tradisi upeti dari calon anggota legislatif (caleg) ke partai yang
mengusungnya.
Selain itu, aliran dana juga kerap mengalir ke pemilih melalui
cara-cara voter buyingsecara masif. Sedari awal dengan pola
transaksional berbiaya tinggi tersebut, seorang caleg memersepsikan
pengeluaran sebagai investasi yang dalam hitunghitungan bisnisnya harus
balik modal plus keuntungan saat dia menjadi anggota DPR nanti. Dengan
skema pembiayaan, tentu akan melokalisasi persepsi yang melekat di
masyarakat bahwa pencalegan bukan lagi berformula M-C-M ‘Money-
Commodity-more Money’.
Tentu kita wajib prihatin, saat posisi Indonesia dalam daftar Indeks
Negara Gagal 2012 berada di urutan ke-63 dari 178 negara artinya
menempatkan posisi Indonesia dalam bahaya (in danger) menuju negara
gagal! Bagaimanapun The Fund for Peace (FFP) memiliki reputasi bagus
dalam pemeringkatan soal ini, dan dirujuk oleh banyak negara di dunia.
Karena itu, saat mereka bekerja sama dengan majalah Foreign Policy
memublikasikan indeks ini beberapa hari lalu, seharusnya menjadi
tamparan keras bagi kita, terutama pemerintahan SBY.
Salah satu penyebab kita menuju negara gagal tentu prilaku koruptif
para elite. Kleptokrasi telah sempurna menjadi pilihan kaum
elitepenguasa. Dalam buku lawasnya, Stanislav Andreski menulis
Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968)
menggarisbawahi peran penguasa atau pejabat tinggi yang tujuan utamanya
adalah pengayaan pribadi.Mereka memiliki kekuatan untuk memperoleh
kekayaan pribadi tersebut sambil memegang jabatan publik.
Sebuah negara yang kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutifnya
tunduk pada para koruptor hanya akan berjalan menuju titik nadir. Skema
pembiayaan caleg ini bisa menjadi terobosan untuk mengurangi praktik
korupsi politik setelah mereka menjadi anggota DPR meskipun tak bisa
menghapuskannya sama sekali. Kedua, pembiayaan caleg akan turut memberi
dorongan pada tokoh-tokoh masyarakat potensial untuk berpartisipasi.
Selama ini banyak orang potensial,memiliki visi,sekaligus mumpuni,tetapi
malas dan cenderung skeptis untuk menjadi caleg.
Mereka terkendala biaya tinggi sehingga tak bersedia mengeluarkan
uang banyak untuk membiayai kontestasi. Dampaknya, banyak orang-orang
potensial yang tidak bersedia berpartisipasi. Konsep pembiayaan ini
menjadi strategi persuasi yang cerdas untuk memengaruhi kelompok-
kelompok khusus.Tak dimungkiri skema pembiayaan caleg ini akan
menguntungkan pencitraan partai yang menerapkannya. Hal ini bisa
menstimulasi banyak tokoh masyarakat atau figur-figur politik yang punya
basis massa, tapi tidak punya uang untuk masuk dan mencalonkan diri
dari partai yang memberi pembiayaan tadi.
Ketiga, terobosan yang ditawarkan NasDem ini juga bisa menjadi psywar
atau perang urat saraf bagi partai-partai lain. Misalnya, dalam konteks
rivalitas menuju Pemilu 2014, eksistensi NasDem dengan sendirinya
semakin diperhitungkan banyak pihak terutama partai-partai lama yang
saat ini sudah ada. NasDem bisa menjadi kekuatan baru yang dianggap
memiliki kesiapan terutama menyangkut basis kekuatan finansial untuk
membiayai strategi-strategi pemasaran politiknya.
Political Responsibility
Hanya, ada dua hal yang perlu diberi catatan dari rencana
tersebut.Pertama, jangan sampai rencana ini hanya gimmick dalam konteks
publisitas politik. Gimmick ini biasanya hanya membesar-besarkan sesuatu
meski kenyataannya kerap tidak sewah dan tidak senyata yang dilihat dan
rasakan. Kalau pendekatannya hanya hype politic atau untuk pencitraan,
tetapi tidak direalisasikan, tentu akan menjadi ‘blunder’ bahkan bisa
menimbulkan efek bumerang bagi proses-proses marketing politik NasDem
sendiri.
Efek ini terjadi jika hasil dari satu publisitas merupakan kebalikan
dari apa yang sebelumnya diharapkan. Kedua, harus ada kejelasan mengenai
sumber pembiayaan para caleg tersebut. Jangan sampai terdapat
distribusi dan alokasi uang bermasalah dalam skema pembiayaan para
caleg. Niatan yang baik tentu harus didukung oleh sumber-sumber yang
jelas dan transparan.Pertaruhan besar jika biaya para caleg itu
diambilkan dari pospos keuangan yang bermasalah karena akan merusak
trackrecordpartai bersangkutan.
Sudah saatnya partai politik mengembangkan konsep tanggung jawab
politik (political responsibility) dalam distribusi dan alokasi sumber
daya manusia ke jabatan-jabatan politik seperti DPR. Jangan sampai, pola
transaksional berbiaya tinggi saat pencalonan menyuburkan praktik
korupsi politik berkelanjutan. Sebagaimana kita ketahui,korupsi politik
merupakan penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan publik berdasarkan
peraturan perundang-undangan oleh pejabat publik demi kepentingan
pribadi.
Lingkup korupsi politik mencakup antara lain suap-menyuap, jual-beli
pengaruh, patronase, kecurangan pemilu, gratifikasi, penggelapan,
pemufakatan jahat, dan keterlibatan dalam kejahatan terorganisasi.
Korupsipolitikakanmenjadi momok krisis di sebuah negara dan menjadi
penyebab krisis di bidang-bidang lain karena biasanya dilakukan oleh
orangorang yang memiliki kekuasaan politik.Para pelaku menyalahgunakan
kewenangan, sarana, atau kesempatan yang melekat pada kedudukan dan
posisi sosial-politik mereka.Kita tentu tidak ingin fase konsolidasi dan
pelembagaan demokrasi terusmenerus tersandera oleh tindakan korupsi
politik.
Saat ini korupsi politik bisa dilakukan oleh siapa saja dan kelompok
politik mana saja mengingat fragmentasi kekuatan politik di era
demokrasi elektoral. Sejumlah pintu masuk menganga hingga kerap menarik
minat para koruptor dan calon koruptor. Jika korupsi politik tak bisa
dibatasi dan dikendalikan secara efektif, seluruh energi bangsa ini akan
terisap dan masuk ke dalam fase negara gagal!
0 komentar:
Posting Komentar